Makalah Permainan Tradisional Suku Bugis
PENGANTAR STUDI BUDAYA LOKAL
PERMAINAN TRADISIONAL SUKU
BUGIS
OLEH :
NUR AFIKA (18.1300.106)
ASNIAR (18.1300.109)
ZULFITRIANI
SAID
(18.1300.110)
MASYITA ADINDA PUTRI PERTIWI (18.1300.111)
NURUL ILMI (18.1300.118)
ANDI SITI ALYA SAKURA (18.1300.130)
INDIRWAN PRIYATNO N (18.1300.114)
MUH. RIVAL PRATAMA (18.1300.122)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PAREPARE
JURUSAN
TARBIYAH DAN ADAB
PRODI BAHASA INGGRIS
2018
KATA PENGANTAR
Puji
serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu
banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu
banyak nikamat yang telah di dapatkan dari Allah SWT. Selain itu, kami
juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik
kesehatan maupun pikiran.
Dengan
nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan tugas mata
kuliah Pengantar Studi Budaya Lokal dengan topik inti Permainan Tradisional Suku
Bugis
ini. Kami sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Hj.
Hasnani Siri. M
selaku dosen pengampu mata pelajaran Pengantar Studi Budaya Lokal serta semua pihak
yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari makalah ini masih begitu banyak kekurangan dan kesalahan baik isinya
maupun struktur penulisannya, oleh karena itu kami sangan mengharap
kritik dan saran positif untuk perbaikan di kemudian hari.
Demikian semoga
makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi
kami. Amin.
Parepare, Oktober 2018
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul................................................................................................................... i
1.
Marraga ... 3
2.
Maggasing ...
3.
Maggulecceng
........................................................................................................................
4.
Massaung
Manu .................................................................................................................
5.
Mallogo /
Allogo ................................................................................................................
6.
Masantok ...
7.
Maccubbu ...
8.
Masekka ...
2.
Saran ...
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Modernisasi
sangat erat dan lekat dengan kehidupan masyarakat. Bahkan di masa sekarang
telah menjadi kebutuhan yang mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan sosial.
Berbagai teknologi yang dihasilkan menjadi sarana untuk mempermudah dalam ilmu
pengetahuan. Begitu pula dengan keberadaan permainan
modern yang manfaatnya cukup baik bagi perkembangan anak. Permainan
modern dapat melatih daya fokus dan membantu kepekaan panca indera, serta melatih
strategi yang berefek positif dalam kehidupan. Hanya saja dalam permainan
modern lebih bersifat individual. Rasa solidaritas yang di petik dari permainan
modern masih kurang, sekalipun telah menggunakan peralatan canggih dan lebih
modern. Sedangkan pada permainan tradisional, cenderung berkelompok.
Nilai-nilai gotong royong dan kerjasama menjadi bagian dalam permainan
tradisional. Banyak orang tua yang beranggapan permainan tradisional adalah
kegiatan yang berbahaya bagi anak- anak.
Padahal kenyataannnya permainan tradisional melatih daya kreatifitas dan
kemandirian bagi anak. Jadi para orang tua lebih memilih permainan modern yang
lenih aman.
William Lim dan
Hock Beng (1998) mengemukakan beberapa strategi merancang tradisi masa lalu ke
dalam lingkup masa sekarang. Strategi tersebut di antaranya adalah Reinvigorating Tradition (menghidupkan
kembali), Reinveting Tradition (memperbarui
tradisi), Extending Tradition (keberlanjutan
tradisi), dan Reinterpreting Tradition (menginterpetasikan tradisi). Dari keempat strategi yang ada, Extending Tradition lah yang mencakup di
dalamnya keberadaan objek yang berupa “Pusat Peragaan Permainan Tradisional
Mainan Bugis Di Makassar”.
Extending Tradition merupakan
strategis untuk memperpanjang dan memperjelaskan arsitektur lokal yang ada di
daerah tersebut atau mencari keberlanjutan tradisi lokal yang ditimbulkan
dengan mengutip secara langsung dan fitur sumber masa lalu serta menambahkan
secara inovatif. Proses menciptakan atau
memperbarui arsitektur lokal dengan cara mengkombinasikan permainan
tradisional yang ada dengan unsur-unsur dari budaya modern. Pemilihan tema ini
berdasarkan atas kontekstual yang tanggap terhadap kondisi lokal. Setiap sudut
dalam perancangan memiliki potensi fisik, sosial, dan ekonomi yang secara
kultur memiliki batasan dalam arsitektural maupun sejarah. Sehingga senantiasa
mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat. Erat
hubungannya Pusat Peragaan Permainan Tradisional Bugis terhadap kehidupan masa
lampau yang memiliki banyak filosofi. Tradisional yang mencakup masa lalu dengan penerapannya yang mengikuti alur masa
kini dan masa depan. Dengan elemen- elemen dan konsep tradisional yang
diterapkan dalam perspektif masa sekarang.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada
latar belakang makalah ini, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah:
1.
Apa saja permainan
suku bugis ?
2.
Bagaimana asal usul
permainan suku bugis?
3.
Berapa pemain yang
dibutuhkan pada saat bermain permainan suku bugis?
4.
Dimana tempat yang
kondusif untuk bermain permainan suku bugis?
5.
Bagaimana cara
memainkan permainan suku bugis?
6.
Apa nilai budaya
yang dikandung dalam permainan suku bugis?
3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui
permainan suku bugis.
2.
Untuk mengetahui
asal usul permainan suku bugis.
3.
Untuk mengetahui
pemain yang dibutuhkan pada saat bermain permainan suku bugis.
4.
Untuk mengetahui
tempat yang kondusif untuk bermain permainan suku bugis.
5.
Untuk mengetahui
cara memainkan permainan suku bugis.
6.
Untuk mengetahui
nilai budaya yang dikandung dalam permainan suku bugis.
BAB II
PENJELASAN
A. Marraga
1. Asal usul
Marraga berasal dari kata bugis, sedangkan orang makassar, sering menyebut
permainan ini dengan akraga (olahraga). Marraga termasuk jenis permainan yang
memadukan unsur olahraga dan seni. Permainan ini memerlukan
kecekatan,ketangkasan dan kelincahan. Permainan yang berasal dari malaka ini,
konon hanya dimainkan oleh para bangsawan bugis pada saat diadakan
upacara-upacara resmo kerajaan seperti, pelantikan raja dan perkawinan anggota kerajaan.
Versi ini yang lain menyebutkan bahwa permainan ini berasal dari pulau nias
(sumatera utara). Dewasa ini marraga bukan hanya dimainkan oleh para bangsawan,
tetapi juga oleh orang kebanyakan.
2.
Pemain
Marrraga umumnya dimainkan oleh pria, baik remaja maupun dewasa. Dalam satu
permainan jumlah pemainnya 5-15 orang.
3. Tempat dan peralatan permainan
Permainan dilakukan pada sebidang tanah datar yang permukaannya dibuat
lingkaran dengan garis tengah minimal 6 meter. Peralatan yang digunakan adalah
raga, yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah,diraut
halus kemudian dianyam. Alat ini umumnya berdiameter 15 cm. Adakalanya gendang
di pergunakan untuk mengiringi jalannya permainan.
4. Aturan dan Proses permainan
Peraturan permainan marraga dapat dikatakan sederhana, yaitu permain (jika
menerima raga dari permain lain) harus melambungkan raga tersebut agar jangan
sampai terjatuh sebelum dioperkan pada permain lainnya.
Cara melambungkan raga adalah dengan
menggunakan kaki, tangan, bahu, dada dan anggota tubuh lainnya, tetapi tidak
boleh dipegang. Tinggi rendahanya lambungan raga ada yang dapat mencapai 3 m
dari permukaan tanah secara tegak (sempak sarring/anrong sempak); ada yang
sedikit melampaui kepala (sepak biasa); dan ada yang dibawah pusar (sempak
caddi). Hal itu tergantung dari keahlian dan keinginan permain.orang yang
dianggap mahir (niak sempakna atau niak belona), selain dapat mempertahankan
raga agar tidak jatuh ke tanah,juga dapat melambungkan raga sesuai dengan
persyaratan permaianan (bajiki anring sempakna), yaitu : 1. Pintar mengambikl
raga, disiplin dan mampu menghidupkan suasana bermain ( caraddeko anggalle
raga), 2. Sepakannya bervariasi dan sulit ditiru oleh pemain lainnya (jai
sempak masagalana).
Sebelum permainan dimulai, para pemain berdiri membentuk lingkaran. Salah
seorang pemain (termahir) memegang raga kemudian melambungkannya. Pemain yang
posisinya pas dengan jatuhnya raga, maka dia yang harus memulai permainan. Selanjutnya,
raga dioperkan pada pemain lain dalam lingkaran tersebut, demikianlah
secara bergiliran. Sebagai catatan, pemaian tidak boleh memonopoli permainan
dan menyerobot kesempatan pemain lain.dalam hal ini berlaku asa pemerataan
kesempatan bagi para permain untuk Menunjukkan keahliannya masing-masing.pertandingan
dianggap selesai jika bola jatuh ke tanah.permain yang menjatuhkannya dapat
dikeluarkan sebelum permainan dimulai atau kembali seperti semula.
5. Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam permainan marraga adalah kerja sama, kecermatan, demokrasi
dan sportivitas.nilai kerja keras dan kerja sama tercermin dari usaha para
permain untuk menjaga dengan berbagai macam cara agar raga tidak jatuh ke
tanah. Nilai kecermatan tercermin dari usaha permain untuk melambungkan atau
menyepak raga ke sasaran yang dituju,sehingga raga tidak keluar dari arena
permainan.nilai demokrasi tercermin dari tidak adanya pemonopolian atau
penyerobotan kesempatan pemain lain. Jadi, para pemain diberi kesempatan untuk
menunjukkan keahliannya. Dan nilai sportivitas tercermin dari pemain yang
dengan lapang dada keluar arena karena menjatuhkan raga ke tanah.
B. Maggasing
1. Pengantar
Maggasing adalah penamaan dalam
bahasa Bugis, sedangkan orang Makassar, Indonesia, menamainya akgasing yang
dalam bahasa Indonesia umumnya dikenal dengan bermain gasing. Penamaan
permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu
gasing. Asal usul permainan gasing menurut Kuderen dan Mathes dalam “Tot
Bijdragen de Etnologie van Zuid Celebes”, berasal dari daerah Sumatera,
kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam, melalui hubungan
dagang.
2. Pemain
Jumlah pemain maggasing 2—6 orang.
Secara umum maggasing dimainkan oleh kaum laki-laki, baik anak-anak, remaja,
maupun dewasa.
3. Tempat dan
Peralatan Permainan
Maggasing dapat dilakukan di mana
saja; bisa di halaman rumah, di halaman rumah adat, ataupun di lapangan pada
waktu pagi dan atau sore hari. Peralatan yang digunakan adalah sebuah gasing
yang terbuat dari kayu yang berkualitas baik, seperti: kayu jati, teras batang
nangka, kayu bayam, teras batang jambu dan kepundung. Kayu tersebut dibentuk
dengan garis tengah antara 2,5—4 cm. Bagian bawahnya agak runcing, kemudian
ujungnya dibentuk seperti paku dengan tonjolan sepanjang kira-kira 2 mm. Saat
ini tonjolan tersebut sebagian besar sudah menggunakan paku besi. Paku inilah
yang nantinya akan menyentuh tanah sewaktu gasing berputar. Peralatan lainnya
adalah ulang atau benang yang diameternya sekitar 1 mm dan panjangnya 3 meter.
Salah satu ujung benang dibuhul kuat-kuat. Ujung yang lain dikaitkan pada
sekerat kayu kecil sebesar lidi yang panjangnya 3 cm. Sekerat kayu ini
berfungsi sebagai penahan benang sewaktu gasing dilontarkan.
4. Aturan dan
Proses Permainan
Ada dua jenis permainan beserta
aturannya yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Bugis, yaitu permainan yang
mengutamakan bentuk, keindahan, serta lamanya perputaran gasing dan permainan
kompetisi. Pada permainan pertama yang dinilai tidak hanya bentuk, keindahan,
ukuran, tinggi badan gasing, kehalusan rautannya dan lamanya putaran, tetapi
juga keseimbangannya dalam berputar. Peserta yang paling memenuhi kriteria itu
dinyatakan sebagai pemenangnya. Sedangkan pada permainan kedua lebih
mengutamakan keahlian seseorang dalam bermain dan dapat mengeluarkan semua
gasing lawan dari lingkaran. Pemain yang dapat melakukannya dianggap sebagai
pemenang.
5. Nilai Budaya
Permainan yang disebut sebagai
maggasing mengandung nilai keserasian dan sekaligus keindahan serta ketangkasan
dan kecermatan. Nilai keserasian dan keindahan tercermin dalam pembuatan
gasing. Dalam konteks ini gasing tidak hanya dapat berputar, tetapi keserasian
bentuk dan keindahan sehingga enak dipandang mata juga diperhatikan. Nilai
ketangkasan dan kecermatan tercermin dalam usaha mengeluarkan gasing lawan dari
arena (lingkaran permainan). Tentunya ini membutuhkan ketangkasan dan
kecermatan. Sebab jika tidak, sulit untuk mengeluarkan gasing lawan dari dalam
arena. (pepeng).
C. Magguleceng
1. Asal Usul
Maggalenceng adalah salah satu
permainan yang ada di kalangan orang Bugis. Permainan ini dahulu dianggap
sakral karena hanya dimainkan pada saat ada kematian. Dengan perkataan lain,
permainan ini tidak boleh dilakukan di sembarang waktu karena dapat
mendatangkan kematian bagi anggota keluarga si pemain. Oleh karena itu, para
orang tua melarang siapa saja yang memainkan permainan ini pada saat yang tidak
tepat (bukan saat-saat ada kematian).
Penyelenggara permainan ini adalah
pihak keluarga yang berkabung. Lama dan singkatnya penyelenggaraan permainan
ini bergantung pada status sosial orang keluarga yang meninggal. Dalam konteks
ini jika orang yang meninggalkan adalah orang kebanyakan, maka penyelenggaraan
permainan hanya dilakukan dalam waktu 7 hari (berturut-turut dan dilakukan pada
malam sampai menjelang pagi hari). Namun, jika orang yang meninggal mempunyai
status sosial yang tinggi di dalam masyarakatnya (kaum bangsawan), maka
permainan biasanya akan diselenggarakan selama 40--100 hari.
Kesakralan
permainan yang sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga agar tidak mengantuk dan
sekaligus menghibur anggota keluarga yang meninggal itu berangsur-angsur
memudar sejak datangnya agama Islam yang dibawa oleh Abdul Makmur dari
Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-16 (www.wikipedia.org). Dewasa ini
tidak ada lagi kesakralannya. Malahan, fungsinya berubah menjadi suatu
permainan muda-mudi. Melalui permainan ini remaja yang berlainan jenis itu
saling merajuk dan atau mengungkapkan isi hatinya.dengan nyanyian yang berupa
syair. Syair itu antara lain adalah sebagai berikut:
Addara-dara
teduce
Anggalacang
tasitembak
Manna taduce
Naduceanji
kalenna
Manna tatette
Natettekanji
kalenna
Artinya:
Bermain
dara-dara tidak pernah salah
Bermain
galaceng tidak saling mengalahkan
Walau tidak
kalah
Dia mengalahkan
dirinya
Meskipun tidak
menang
Dia memenangkan
dirinya
Laka-kelamaan para pemuda menganggap
bahwa permainan ini kurang menantang karena tidak perlu mengeluarkan tenaga dan
fisik yang kuat, sehingga jarang pemuda ikut dalam permainan ini.
2. Pemain
Permainan maggalenceng dapat
dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa laki-laki maupun perempuan. Namun,
saat ini, secara umum maggalenceng dimainkan oleh kaum perempuan, terutama
anak-anak yang berusia 6--12 tahun. Kaum laki-laki sangat jarang memainkannya.
Jumlah pemain tergantung dari jumlah papan maggalenceng yang tersedia. Untuk
satu papan permainan hanya dapat dimainkan oleh dua orang.
3. Tempat
Permainan
Dahulu maggalenceng hanya dimainkan
di teras atau beranda rumah orang yang baru saja meninggal dunia. Namun,
sekarang ini dapat dimainkan di mana saja dan kapan saja karena tidak
memerlukan tempat yang khusus. Jadi, bisa di dalam rumah, di beranda rumah,
atau di balai-balai rumah adat (bisa pagi, siang, sore, atau malam hari).
4. Peralatan
Permainan
Peralatan yang digunakan dalam
permainan adalah aggalancengngeng yang terbuat dari kayu yang tebalnya kurang
lebih 10 cm, lebar 20 cm dan panjang 50 cm. Kayu tersebut diberi lubang-lubang
(bundar) dengan kedalaman kurang lebih 5 cm. Jumlah lubang seluruhnya adalah 12
buah, dengan rincian 10 lubang dibuat dua jejer (masing-masing jejer 5 lubang),
kemudian dua lubang yang agak besar di setiap ujungnya (aggalancengngeng).
Selain aggalancengngeng, permainan ini juga menggunakan biji-biji buah pohon
asam atau kerikil yang jumlahnya antara 50--70 biji untuk mengisi lubang yang
tersedia. Biji-biji tersebut nantinya dibagi menjadi dua untuk masing-masing
pemain.
5. Aturan
Permainan
Ada empat cara yang dikenal oleh
orang Bugis-Makassar dalam permainan ini. Pertama, mabbetta, yaitu jika biji
yang terakhir kena lubang yang kosong di daerahnya sendiri, sementara lubang
lawan di depannya berisi maka bijinya diambil sebagai kemenangan pihak lawan.
Kedua, maddappeng, yaitu apabila biji persis habis pada lubang lawan yang
berisi tiga biji, maka bijinya diambil sebagai kemenangan lawan. Ketiga,
gabungan dari mabbetta dan maddappeng. Dan, keempat sigappae, yaitu
masing-masing ulu tidak diisi tetapi digunakan sebagai tempat biji kemenangan.
6. Jalannya
Permainan
Jalannya permainan dimulai dengan
memasukkan biji-biji ke dalam lubang-lubang yang ada di dalam papan permainan
(aggalancengngeng), kecuali dua buah lubang besar saja yang berada di ujung
aggalancengngeng. Kedua lubang ini tidak boleh diisi. Jumlah biji pada setiap
lubang adalah sama. Jika jumlah seluruh biji yang disepakati adalah 70 biji,
maka setiap lubang akan diisi oleh 7 biji. Kemudian salah satu pemain yang
mendapat kesempatan pertama akan mengambil semua biji dari lubang paling ujung
yang ada di daerahnya sendiri. Biji-biji tersebut kemudian akan diedarkan satu
persatu dengan arah yang berlawanan jarum jam ke setiap lubang yang ada di
papan permainan, kecuali satu lubang besar di ujung papan yang menjadi “milik”
lawan. Apabila biji masuk ke lubang yang paling besar (miliknya sendiri), maka
biji tersebut merupakan nilai bagi pemain yang bersangkutan. Namun, jika biji
yang terakhir jatuh ke lubang yang masih ada bijinya, maka pemain mengambil
biji-biji tersebut untuk diedarkan kembali. Demikian seterusnya hingga suatu
saat biji terakhir jatuh pada lubang yang kosong. Jika itu terjadi, maka pemain
yang lain (lawan mainnya) akan menggantikannya. Permainan akan berlangsung
terus hingga biji-biji yang berada di lubang-lubang kecil seluruhnya masuk ke
dua buah lubang besar di ujung papan permainan milik kedua pemain. Bagi pemain
yang mendapatkan biji terbanyak akan menjadi pemenangnya.
7. Nilai Budaya
Nilai yang terkandung dalam
permainan maggalenceng adalah kecermatan dan sportivitas. Nilai kecermatan
tercermin dari perlunya perhitungan yang pas agar biji-biji yang akan
dijatuhkan tidak mengenai lubang yang kosong sehingga dapat terus bermain dan
mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Nilai sportivitas tercermin tidak hanya
dari sikap para pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan,
tetapi juga mau menerima kekalahan dengan lapang dada. (pepeng).
D. Massaung
Manu
1. Asal Usul
Massaung manuk adalah penamaan orang
Bugis untuk sebuah permainan yang dalam bahasa Indonesia berarti “sabung ayam”.
Massaung manuk dahulu hanya dilakukan para raja dan bangsawan Bugis pada pagi
atau sore hari untuk memeriahkan pesta-pesta adat seperti: pelantikan raja,
perkawinan, dan panen raya. Konon, permainan ini bermula dari kegemaran para
raja yang sering mempertarungkan pemuda-pemuda di seluruh wilayah kerajaannya
untuk mencari tubarani-tubarani (pahlawan) kerajaan yang akan dibawa ke medan
pertempuran. Jadi, pada waktu itu yang disabung bukanlah ayam melainkan
manusia. Namun, lama-kelamaan, mungkin karena semakin jarangnya terjadi
peperangan antarkerajaan, pertarungan antarmanusia itu berubah menjadi
pertarungan antarayam yang dinamakan massaung manuk.
Pada waktu itu permainan tidak hanya
dilakukan di dalam sebuah kerajaan, tetapi juga antarkerajaan yang tujuannya
tidak hanya untuk bersenang-senang tetapi juga sebagai ajang adu prestasi,
gengsi dan perjudian. Pemilik yang ayamnya selalu menang akan dianggap sebagai
orang yang berhasil melatih ayam aduannya, dan kedudukannya akan dipandang
lebih tinggi di kalangan para pengadu ayam. Kemudian, ayam aduan yang selalu
menang dalam pertarungan akan menjadi “maskot” kerajaan sebagai lambang keberanian.
Nama pemiliknya pun akan dikenal oleh seluruh penduduk, baik di dalam maupun di
kerajaan-kerajaan lainnya. Bahkan, ketika itu banyak pahlawan Bugis yang sering
menggunakan julukan yang sama seperti nama-nama ayam yang terkenal di daerahnya
masing-masing, misalnya, I Segong Ri Painaikang, Buleng Lengna Lantebung,
Cambang Toana Labbakang, Korona Jalanjang, Campagana Maccinibaji dan lain
sebagainya.
Dalam perkembangannya, permainan
yang disebut sebagai massaung manuk ini tidak hanya dimainkan oleh kaum
bangsawan saja, melainkan juga oleh oleh rakyat jelata. Permainan juga dapat
dilakukan kapan saja, tanpa harus menunggu adanya pesta-pesta adat terlebih
dahulu. Saat ini permainan massaung manuk dilarang oleh pemerintah, disamping
karena lebih menekankan pada motif perjudian, juga dianggap terlalu kejam dan
merendahkan martabat manusia. Padahal, bagi masyarakat “tradisional” Bugis,
menganggap bahwa sesuatu yang berlaga hingga mengeluarkan darah, dipercaya akan
menambah keberanian dan kesaktian.
2. Pemain
Jumlah pemain massaung manuk tidak
dibatasi. Namun, untuk satu kali pertandingan hanya diikuti oleh dua orang
peserta karena ayam yang akan diadukan harus satu melawan satu. Massaung manuk
hanya dimainkan oleh laki-laki, dari usia remaja hingga orang dewasa (tua).
3.Tempat
Permainan
Permainan massaung manuk dapat
dilakukan di mana saja, asalkan memiliki arena yang berbentuk lingkaran atau
persegi empat seluas sekitar 5 x 5 meter. Jadi, bisa di pekarangan rumah maupun
lapangan. Permainan ini biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari.
4. Peralatan
Permainan
Peralatan yang digunakan dalam
permainan ini adalah: ayam, taji, dan kayu bercagak. Ayam yang akan diadu bukan
sembarang ayam, tetapi ayam jantan yang dinilai kuat, besar dan tangguh dalam
bertarung. Ayam-ayam yang telah dipilih menjadi ayam-aduan biasanya akan
dirawat dengan sangat baik. Adakalanya ayam-ayam ini dimantrai atau
dijampi-jampi agar dapat mengalahkan lawannya. Taji adalah senjata yang
diikatkan pada kaki ayam agar serangannya efektif dan mematikan. Alat ini
terbuat dari logam dan berbentuk runcing menyerupai keris atau badik kecil.
Kayu bercagak pada saatnya akan diselipkan di leher ayam yang kalah untuk
dipatuk oleh ayam yang menang.
5. Aturan
Permainan
Peraturan permainan massaung manuk tergolong
sederhana, yaitu apabila dua ekor ayam jantan diadukan dan salah satu
diantaranya kalah atau mati, maka ayam yang dapat mengalahkannya dinyatakan
sebagai pemenang.
6. Jalannya
Permainan
Permainan dimulai dengan pengundian
untuk menentukan ayam siapa saja yang nantinya mendapat giliran untuk
bertarung. Setelah urutan peserta yang ayamnya akan bertarung ditetapkan, maka
bagi yang mendapat giliran pertama akan memasukkan ayamnya ke dalam arena.
Kemudian, ayam-ayam tersebut oleh pemiliknya akan dipasangi sebilah atau dua
bilah taji, bergantung kesepakatan para pemilik ayam. Orang Bugis menyebut
pemasangan taji ini sebagai rinrelengngi, sedangkan orang Makassar menyebutnya
nibulanggi. Setelah itu, ayam diadu sampai ada yang kalah atau mati. Pada saat
kedua ayam berlaga, penonton bersorak-sorai menyemangati ayam yang
dijagokannya. Sementara, pemilik ayam berkeliling, menyemangati ayamnya dengan
teriakan, dan sekaligus mengawasinya (berjaga-jaga). Ayam yang “kalah” lehernya
akan dijepit dengan kayu bercagak. Kemudian, ayam yang menang harus mematuk
kepalanya sejumlah tiga kali. Jika ayam yang “menang” itu tidak dapat mematuk
sejumlah tiga kal, maka permainan dianggap seri.
7. Nilai Budaya
Walaupun pemerintah dan sebagian
masyarakat Bugis menganggap bahwa permainan massaung manuk bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, namun lepas dari masalah itu
sesungguhnya permainan ini mempunyai nilai yang sangat berguna dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kreativitas dan
sportivitas. Nilai kerja keras tercermin dari perawatan ayam aduan yang
dilakukan dengan sangat baik melebihi perawatan ayam-ayam biasa yang bukan
aduan. Disamping merawat, pemilik ayam juga harus melatih ayam aduannya agar
semakin lihai dalam bertarung. Nilai kreativitas tercermin dari cara-cara yang
dilakukan oleh pemilik ayam dalam memilih ayam aduan yang baik dan dalam
menggunakan peralatan-peralatan khusus (taji) agar ayamnya dapat menang secara
cepat dan efektif. Dan, nilai sportivitas tercermin tidak hanya dari sikap para
pemain yang tidak berbuat curang saat berlangsungnya permainan, tetapi juga mau
menerima kekalahan dengan lapang dada ketika ayamnya kalah atau mati. (gufron).
E. MALLOGO/ALLOGO
1. Asal
Usul
Mallogo (Bugis) atau Allogo
(Makassar) adalah salah satu permainan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan
(Sul-Sel). Permainan ini mengandung nilai pendidikan seperti kejujuran
dan sportivitas. Meskipun kini mallogo jarang dimainkan lagi, namun masyarakat
Sul-Sel senantiasa merasakan kerinduan untuk melihat permainan ini. Kerinduan
ini bukti bahwa mereka begitu terikat pada tradisi leluhurnya ( Abu Bakar
Punagi, 1960: 45; Aminah Pabittei, 2009: 68 ).
Pada masa lalu, selain masyarakat
awam, mallogo juga lazim dimainkan oleh kaum bangsawan. Oleh karena itu,
terdapat dua jenis logo. Logo untuk bangsawan terbuat dari tanduk kerbau, seng,
atau besi yang disepuh emas, sedangkan logo masyarakat dari tempurung kelapa
kering.
2. Peralatan
Permainan mallogo hanya memerlukan
peralatan sederhana, yaitu logo dari tempurung kelapa kering dan sebilah bamboo
sebagai pemukul (paqcampaq). Logo dibuat dua bentuk, yaitu logo kecil ukuruan
7-8 cm sebanyak 6-8 buah dan logo besar ukuran 15 cm.
3. Pemain
Mallogo dimainkan oleh dua orang atau
lebih. Rata-rata pemain adalah anak-anak atau remaja laki-laki maupun
perempuan.
4. Tempat
Permainan
Mallogo biasanya dimainkan di
pinggir sawah atau halaman rumah.
5. Aturan
Permainan
Secara umum, ada tiga aturan dalam
permainan mallogo, yaitu:
·
Pemain di anggap pemenang jika mampu
menjatuhkan semua logo, dan ia kembali dapat memukul.
·
Jika pemain pertama tidak dapat menjatuhkan
semua logo, maka permainan berpindah ke lawan.
·
Nilai pemenang ditentukan dari jumlah logo yang
jatuh.
6. Cara
Permainan
Mula-mula. Enam atau delapan logo
kecil dijajar ke belakang dengan menancapkan salah satu sudutnya ke tanah.
Jarak antar logo kurang lebih 10 cm. logo besar diletangkan di tempat menembak
atau memukul. Jarak tembak diatur sesuai kesepakatan pemain. Pemain yang dahulu
memukul juga diatur sesuai kesepakatan atau undian.
Salah satu pemain mulai memukul logo
besar sembari duduk atau jongkok. Jika dapat menjatuhkan semua logo kecil, ia
mendapat nilai dan dapat memukul lagi. Sebaliknya, jika tidak, maka pemukul
berganti ke pemain yang paling banyak menjatuhkan logo kecil.
Mallogo memiliki istilah-istilah
khusus yang harus dipahami oleh setiap pemain. Istilah-istilah tersebut antara
lain.
·
Olo, istilah untuk menyebut orang atau kelompok
yang pertama memukul.
·
Boko, istilah untuk orang atau kelompok pemukul
selanjutnya.
·
Ambaq, istilah untuk orang atau kelompok yang
melakukan pukulan.
·
Logo mate, istilah untuk logo yang ada pada
jajaran pertama dalam posisi terlungkup setelah dipukul.
·
Logo tuwu, istilah untuk orang atau kelompok
yang berhasil menjatuhkan satu atau lebih logo kecil.
·
Senteng, sebutan untuk logo yang jatuh semua.
·
Lepa atau piping, sebutan untunk pukulan yang
hanya mengenai logo kecil tapi tidak sampai jatuh.
·
Rencing, sebutan untuk pukulan pertama, dan
kedu-duanya batal.
·
Bacu, sebutan untuk pukulan yang hanya membuat
antar logo saling bersentuhan tapi tidak jatuh.
7. Nilai-nilai
Permainan mallogo mengandung
nilai-nilai luhur sebagai berikut:
·
Melatih ketangkasan dan ketenangan. Permainan
mallogo memerlukan ketangkasan pemainnya.
·
Olahraga. Nilai ini tercermin dari gerakan
pemain saat memukul atau melempar yang membutuhkan stamina, energy, dan fisik
yang seimbang.
·
Melestarikan tradisi. Permainan mallogo adalah
warisan leluhur yang mengajarkan budi pekerti bagi anak. Oleh karena itu,
permainan ini penting untuk dilestarikan agar nilai-nilai pendidikan dalam
permainan ini terpelihara.
·
Menjaga kekompakan. Nilai ini tercermin dari
strategi kelompok yang membutuhkan kekompakan dalam menjalankan permainan agar
menang.
·
Seni. Nilai ini tercermin dari nilai seni yang
tercermin dari bentuk logo dan alat pemukulnya. Tidak mengherankan jika bagi
sebagian orang, logo dijadikan koleksi.
F. MASSANTOK
1. Asal
Usul
Di daerah bugis, permainan ini
popular dengan nama massantok, kecuali orang bugis yang berdiam di soppeng
menyebutnya Maggalantok. Termasuk jenis permainan yang dapat dilakukan oleh
semua golongan masyarakat. Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan
kegemaran suku bugis Menunggang Kuda.
2. Peralatan
Alat yang digunakan untuk permainan
massantok, yaitu sebuah batu besar yang akan dijadikan sebagai sasaran lontara
permainan dan sebuah batu agak kecil dan pipih sebesar gemgaman tangan untuk
nasing-masing pemain.
3. Pemain
Jumlah pemain dalam permainan
massantonk 2-6 orang. Peremainan dapat dilakukan oleh anak laki-laki ataupun perempuan.
4. Tempat
Permainan
Permainan massantok biasa dilakukan
di lapangan atau di tempat yang terbuka.
5. Nilai-nilai
Permainan massantok mengandung
nilai-nilai sebagai berikut:
·
Melatih ketangkasan dan ketenangan. Permainan
mallogo memerlukan ketangkasan pemainnya.
·
Melestarikan tradisi. Permainan massantok
adalah warisan leluhur yang mengajarkan budi pekerti bagi anak. Oleh karena
itu, permainan ini penting untuk dilestarikan agar nilai-nilai pendidikan dalam
permainan ini terpelihara.
·
Olahraga. Nilai ini tercermin dari gerakan
pemain saat melempar yang membutuhkan stamina, energy, ketelitian dan fisik
yang seimbang.
G. MACCUBBU
1. Asal
Usul
Berasal dari kata cubbu yang berarti
sembunyi. Termasuk ke dalam permainan ini adalah Mallojo-lojo, Ma’enggo,
Mappalolekka, dan Mallonci. Pada zaman dahulu, dimainkan pada bulan purnama
dimana ketika itu anak-anak keluar rumah bermain bersuka cita. Merupakan
permainan rakyat yang sangat disukai oleh kalangan anak-anak.
H. MAJJEKA
1. Asal
Usul
Berasal dari kata Jeka yang artinya
jalan. Merupakan permainan masyarakat pada umumnya oleh karena bahan utamanya
mudah diperoleh.
2. Pemain
Jumlah pemain antara 2-4 orang.
Permainan ini banyak dilakukan oleh kalangan anak-anak, laki-laki dan
perempuan.
3. Peralatan
Permainan
Perlengkapan permainan terdiri atas
tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan tiap belahan ujungnya diberi lubang.
Juga terdapat dua utas tali yang panjangnya kurang lebih 1,5 meter.
4. Cara
Permainan
Tali di ikatkan ke dalam tempurung
kelapa yang telah di lubangi setelah itu tempurung kelapa di mainkan dengan
cara menginjakkan kaki kita di atasnya dan berjalan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ejaan
Bahasa Indonesia(disingkat EBI) adalah ejaanbahasa Indonesia yang berlaku sejak
tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan yang
Disempurnakan.Ejaan merupakan tata cara penulisan huruf, kata, dan
kalimat sesuai dengan standardisasi yang telah disepakati dalam kaedah Bahasa
Indonesia.
Perubahan
sistem ejaan bahasa Indonesia sudah terjadi beberapa kali. Pada 1947, bahasa
Indonesia menggunakan sistem Ejaan Soewandi, kemudian sistem Ejaan Melindo pada
1959, dan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) pada 1972 hingga EBI (Ejaan Bahasa
Indonesia) tahun 2015.
Ada
beberapa perubahaan yaitu pada penggunaan huruf diftong, penggunaan huruf
capital, penggunaan huruf tebal, penggunaaan tanda titik koma, penggunaan
bilangan, pengunaan tanda ellipsis, penggunaan tanda hubung, definisi
penggunaan kata kata pun, dan penggunaan tanda kurung.
2. Saran
Sudah selayaknya kita sebagai bagian dari bangsa
Indonesia dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar khususnya
dalam bahasa tulis. Dengan adanya penjabaran tentang perbedaan EYD dan EBI
diharapkan para pembaca dapat memahami dan menerapkan penggunaan EYD atau EI
dalam pembuatan suatu karya tulis. Dan semoga penjabaran ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
https://green-star84.blogspot.com/2012/10/permainan-tradisional-bugis.html